Dalam hidup ini tak ada yang lebih saya cintai dari
Allah dan Rasul-Nya. Lakal hamdu wasy syukru ya
Rabb. Duhai Tuhanku, kepada-Mu hamba bersimpuh,
hamba sangat bersyukur telah Engkau anugerahi rasa
cinta yang indah ini.
Rasa cinta yang indah inilah yang membuat saya
merasa hidup ini—dengan segala suka dan dukanya—
terasa indah.
Saya merasa bahwa Allah begitu menyayangi dan
mencintai saya dengan segala nikmat yang telah diberi-
kan kepada saya. Nikmat yang saya sadari maupun yang
tidak saya sadari. Selain nikmat rasa cinta kepada Allah
dan Rasul-Nya, nikmat yang rasakan sangat agung
adalah nikmat indahnya mengenal Islam. Islam, yang
ruhnya adalah ruh cinta kepada semesta alam.
Saya merasa bahwa Allah begitu menyayangi dan
mencintai saya dengan segala anugerah yang telah
diberikan kepada saya. Di antara anugerah yang
membuat saya merasa begitu disayang Allah adalah
anugerah suka membaca dan menulis. Dengan banyak
membaca saya semakin mengenal Allah, semakin
mengenal Rasul-Nya, semakin mengenal sifat dan jati
diri orang-orang besar yang saleh dan mulia.
Dengan membaca saya merasakan bisa melipat
ruang dan waktu. Saya bisa merasakan hidup di pelbagai
tempat dan saat. Saya bisa menghayati pelbagai macam
perasaan jiwa. Saya bisa merasakan ketulusan Abu Bakar
saat menemani hijrah Baginda Rasul. Saya bisa
merasakan dahsyatnya doa Baginda Nabi saat berdoa
sambil menangis menjelang Perang Badar. Saya bisa
merasakan kesedihan kota Madinah saat Rasulullah
wafat. Saya bisa merasakan rasa pilu tiada tara saat
Sayyidina Husein, cucu Rasulullah Saw. dibantai di
Karbala. Saya bisa merasakan semangat Imam Bukhari
saat bertahun-tahun mengembara mengumpulkan hadis-
hadis sahih. Saya bisa merasakan kobaran keberanian
tiada tara saat mendengarkan pidato Thariq bin Ziyad
saat membakar kapal-kapal tentaranya begitu menginjak
tanah Andalusia.
Dengan membaca saya bisa merasakan indahnya
musim semi di Istana Al Hamra. Saya bisa merasakan
dahsyatnya rasa rindu Majnun pada Laela. Saya bisa
mencium aroma darah yang menggenang di Kota
Baghdad karena pembantaian yang dilakukan oleh
Tentara Tartar. Saya juga merasakan aroma yang sama
ketika Amerika melakukan pembantaian yang sama di
Baghdad. Saya bisa merasakan perasaan hancur seorang
ayah di Palestina yang anak kesayangannya ditembak
mati di pangkuannya oleh Tentara Israel, seperti yang
dialami ayah Muhammad Al Dorrah. Saya bisa merasa-
kan ketegangan hidup bergelut dengan laut dan ikan hiu
sendirian berhari-hari dan bermalam-malam seperti yang
dialami Pak Tua dalam The Old Man and The Sea. Saya
bisa merasakan rasa patriot tiada tara yang dirasakan
oleh Soekarno dan Hatta saat memproklamirkan
kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Itulah setetes perasaan yang saya dapat dari membaca.
Masih ada ribuan perasaan dan pengalaman dari
membaca yang tidak mungkin saya ceritakan di sini.
Inilah satu anugerah yang saya rasakan sangat indah,
saya rasakan betapa Tuhan sangat mencintai saya.
Dan dengan menulis saya merasakan kenikmatan
yang tidak kalah dengan kenikmatan membaca. Dengan
menulis saya bisa menciptakan perasaan saya sendiri.
Saya bisa mengajak jiwa saya semangat, bahagia, sedih,
haru, bergetar dan lain sebagainya. Dan saya bisa
mengajak orang lain merasakan apa yang saya rasakan.
Dengan menulis saya bisa mengajak jiwa saya semangat
ketika sedang melemah. Saya bisa mengajak jiwa saya
optimis memandang terang cahaya ketika sedang merasa
sedih dan redup. Dengan menulis saya seolah bisa
mengobati diri saya sendiri ketika saya sedang sakit. Dan
dengan menulis saya merasa lebih berdaya. Saya merasa
menemukan ruang yang pas untuk mengajak diri sendiri
dan orang lain berusaha menjadi lebih baik dan berdaya.
Dan dengan menulis saya merasakan betapa Tuhan begitu
mencintai saya. Allahu akbar!
Kali ini saya menulis tiga novelet yang terkodifikasi
dalam tajuk Dalam Mihrab Cinta ini. Perlu sidang
pembaca ketahui bahwa sesungguhnya novelet Dalam
Mihrab Cinta ini ingin saya luncurkan bersamaan dengan
dwilogi Ketika Cinta Bertasbih 1. Namun karena alasan
marketing, akhirnya Penerbit Republika baru bisa
meluncurkannya sekarang. Tentu, setelah dwilogi Ketika
Cinta Bertasbih 1 menggelinding ke pasar. Padahal
sejatinya novelet Dalam Mihrab Cinta ini telah siap terbit
jauh sebelum dwilogi Ketika Cinta Bertasbih 1 tersebut.
Begitulah. Saya hanya bisa merencanakan, tapi hasilnya,
Allah jualah yang menentukan. Baiklah! Tiga novelet
yang saya maksud adalah sebagai berikut:
Novelet pertama berjudul "Takbir Cinta Zahrana".
Dalam novelet yang sebagian isinya saya angkat dari kisah
nyata ini saya mencoba menulis tentang indahnya
ketegaran dan ketulusan di jalan Allah. Saya juga mencoba
me-muhasabah-i tindakan orang seperti Zahrana yang
lebih lebih mementingkan karier akademik daripada karier
membangun rumah tangga dan membina generasi.
Akademik dan karier bagi siapa pun, memang penting,
tapi membangun rumah tangga dan membina generasi
juga tak kalah pentingnya. Alangkah baiknya jika kedua-
duanya berjalan seiring seirama. Itulah yang saya
harapkan dari hasil me-muhasabah-i "Takbir Cinta
Zahrana", dengan menyajikan "kasus" Zahrana.
Novelet kedua berjudul "Dalam Mihrab Cinta".
Novelet ini adalah ringkasan atau petikan dari roman
"Dalam Mihrab Cinta" yang sedang saya siapkan.
Sengaja saya kenalkan setengah dari alurnya kepada
pembaca agar nanti lebih familiar dan lebih mantap
dalam membaca roman "Dalam Mihrab Cinta."
Meskipun berbentuk petikan atau ringkasan, namun
roman "Dalam Mihrab Cinta" ini insya Allah sudah
menyuguhkan jalinan cerita yang utuh. Dengan novelet
ini saya mencoba menguraikan pepatah yang sangat
terkenal di tanah Jawa yaitu, "Becik ketitik olo kethoro"
(kebaikan akan tampak dan kejahatan akan kelihatan).
Saya juga mencoba mengajak para generasi muda untuk
optimis menatap masa depan. Memang belum detil
dalam novelet ini. Karena sekali lagi, ini adalah
ringkasannya. Lebih detilnya insya Allah ada dalam novel
sesungguhnya yang masih dalam proses pematangan.
Novelet ketiga berjudul "Mahkota Cinta". Se-
sungguhnya, novelet ketiga ini merupakan hasil riset kecil
saya terhadap beberapa kehidupan mahasiswa pasca-
sarjana Indonesia yang tengah menempuh studi di negeri
Jiran Malaysia, terutama di universitas tertuanya, yaitu
Universiti Malaya. Saya terketuk menyajikannya dalam
bentuk novelet karena banyak kisah menarik dari
perjalanan mereka yang bisa kita ambil hikmahnya.
Subhanallah!
Akhirnya, lazimnya sebuah "Sekapur Sirih", rasanya
tidak bijak kalau saya tidak mengucapkan terima kasih
kepada mereka yang berjasa bagi lahimya karya saya ini.
Pertama dengan rasa cinta mendalam saya sampai-
kan rasa terima kasih kepada Ummi, ibu yang melahir-
kan, merawat, mendidik dan mendoakan diriku setiap
saat. Juga kepada Bapak, yang selama ini memberikan
keteladanan untuk hidup bersahaja dan ikhlas berjuang
dijalan Allah.
Juga kepada isteriku tercinta Muyasarotun Sa'idah
yang sedemikian tulus menemani hidup ini dalam suka
dan duka. Terima kasih juga kepada buah hatiku:
Muhammad Neil Author, yang celoteh dan tawanya
sangat mengkayakan jiwa dan menyalakan api semangat
berkarya. Tak lupa kepada adik-adikku tercinta; Anif
Sirsaeba, Ahmad Mujib, Ali Imron, Faridarul Ulya dan
M. Ulinnuha. Mereka semua selalu menyemangati
kakaknya untuk terus menulis karya terbaik.
Juga terima kasih kepada Pak Ahmadun Y. Herfanda
yang sangat tulus memberikan masukan-masukan yang
sangat berguna bagi kemajuan saya menulis. Kepada Pak
Tommy, Pak Awod, Mbak Hanik, Mas Arif dan teman-
teman di Republika. Kepada A. Basith El Qudsy, Sa'dullah,
Kasmijan dan santri-santri Basmala semuanya. Tak lupa
kepada Mbak Helvi, Mbak Asma, Mbak Intan, Mas Irfan,
Mas Gola Gong, Mas Ekky Mbak Dee, Mas Haekal, dan
segenap teman-teman seperjuangan di FLP Pusat.
Juga kepada siapa saja, yang dengan tulus telah
mendoakan saya dan mengapresiasi karya-karya saya.
Kepada mereka semua saya sampaikan jazakumullah
khairal jaza'. Wassalamu'alaikum.
Pesantren Basmala Semarang,
15 Januari-20 Mei 2007
Habiburrahman El Shirazy
---------------------------------------------------------------------------------------------------------
Tidak ada komentar:
Posting Komentar